(Abstract) A better understanding of corporate strategy under regulatory uncertainty enables policy makers to improve policy making efficiency and enhance regulations’ effectiveness. Based on a review of the literature on policy formulation, we propose that regulatory uncertainty is characterized by a dependence on political negotiation, a discrete scenario structure, and a discontinuous resolution. Data from a worldwide survey show that firms pursue response strategies to regulatory uncertainty that address these characteristics by participating in policy making and increasing strategic flexibility. Surprisingly, the results also show that regulatory uncertainty only partly causes firms to postpone strategic decisions.We find that existing regulation and a need to act quickly despite regulatory uncertainty are opposed to the pursuit of a postponement strategy. We conclude that improving the mechanisms by which firms participate in early stages of the policy making process could enable them to operate in a more target-oriented manner, allow for more efficient policy implementation, and increase a regulation’s effectiveness

download


Sosbud / Jumat, 12 Agustus 2011 06:26 WIB

Metrotvnews.com, Kerinci: Sebanyak 75 orang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) meneliti keanekaragaman hayati hutan di Kerinci, khususnya Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi.

“Memang benar saat ini di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Kabupaten Kerinci tengah dilakukan penelitian keankearagaman hayati hutan Kerinci oleh para mahasiswa dari IPB, mereka semua berjumlah 75 orang dan sudah berada di Kerinci semenjak 30 Juli 2011,” kata Humas BB TNKS Andre Gingsong di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Kamis (11/8).

Andre menjelaskan mahasiswa yang melakukan penelitian keanekaragaman hayati TNKS tersebut berasal dari jurusan konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Menurutnya ada beberapa lokasi yang mereka jadikan lokasi penelitian, seperti di Bukit Tapan, Gunung Kerinci, Gunung Tujuh, dan kawasan Muara Emat.

“Kita belum terima hasil penelitian mereka, rencananya mereka akan mempresentasikan hasil penelitian tersebut dalam pekan ini,” kata Andre menambahkan.

Lebih jauh dia menjelaskan bahwa kawasan TNKS selama ini memang selalu telah menjadi objek penelitian alam yang menarik bagi para peneliti, khususnya perguruan tinggi bidang ilmu botani dan zoologi seperti IPB. Para peneliti yang datang melakukan riset di TNKS ini di antaranya tidak saja dari perguruan tinggi atau ilmuwan dari dalam negeri melainkan juga dari luar negeri seperti Amerika, Jepang, Korea, Malaysia, negara-negara Eropa dan Australia.(Ant/****)


TEMPO Interaktif, Denpasar – Upaya pelestarian orangutan masih terbentur kesulitan untuk kembali melepasliarkan primata tersebut, sehingga mereka terpaksa hidup di lahan rehabilitasi dengan daya tampung yang terbatas. Ketua Pembina Borneo Orangutan.

"OU"

orang utan

Survival Foundation Bungaran Saragih mengungkapkan, pelepasliaran terbesar orangutan oleh lembaganya sudah berlangsung sejak 8 tahun yang lalu sebanyak 400 ekor. Namun program itu tidak bisa dilanjutkan.

“Saat ini kami memiliki 1.200 individu orangutan di pusat rehabilitasi,” ujarnya pada “Lokakarya Konservasi Orangutan Internasional” yang digelar Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Forum Orangutan Indonesia di Sanur, Bali, kemarin.

Kondisi itu sangat berbahaya karena orangutan yang terlalu lama tinggal di pusat konservasi menjadi tidak peka lagi pada habitatnya dan gampang terserang penyakit. Di sisi lain, keberadaan orangutan di pusat-pusat rehabilitasi menunjukkan bahwa ancaman perburuan dan perdagangan ilegal masih besar.

Bungaran menyebutkan, konversi lahan kehidupan orangutan menjadi perkebunan merupakan ancaman terbesar bagi upaya pelestarian. Padahal hutan yang cocok untuk konservasi sulit didapat karena umumnya kondisinya sudah rusak. Pihaknya juga terbentur beberapa aturan sebagai prasyarat melakukan pelepasliaran. Karena itu, sejak dicanangkannya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 3 tahun lalu, pelepasliaran belum bisa dilakukan.

Orangutan sendiri saat ini hanya tinggal berada di Kalimantan dan Sumatera. Di Kalimantan, data Dirjen PHKA mengungkapkan, jumlahnya tersisa kurang dari 54.500 ekor orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan di Sumatera hanya tinggal tersisa sekitar 7.400 ekor orangutan Sumatera (Pongo abelli).

Untuk mengatasi masalah itu, Sekretaris Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan Boen Purnama menyatakan bahwa pihaknya berusaha menambah luas hutan yang diubah peruntukannya dari hutan produksi menjadi hutan konservasi orangutan. Apalagi dengan target ambisius pemerintah agar seluruh orangutan sudah dilepasliarkan pada 2015.

ROFIQI HASAN


Senin, 04 Juli 2011 09:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Sebanyak 15 peneliti dunia membahas konservasi flora dan fauna terancam punah dalam simposium internasional yang digelar di Bogor, Senin (4/7). Simposium sehari ini diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan IPB, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), serta The Nature Conservancy.

“Ini menjadi ajang pertemuan peneliti dan praktisi konservasi dunia guna membahas isu-isu konservasi global,” ungkap Ketua Pelaksana Mirza Dikari Kusrini kepada Republika, Senin (4/7).

Ketua Spesies Survival Commission (SSC) IUCN Simon Stuart dalam sambutannya mengungkapkan bumi telah kehilangan keanekaragaman hayati dalam jangka waktu yang sangat cepat. “Untuk mengatasinya, IUCN membentuk Komisi Kelangsungan Keanekaragaman Hayati atau SSC sejak 1949,” ungkapnya Senin (4/7) pagi kepada Republika.

Keanggotaan SSC terdiri dari ribuan ahli relawan yang berbasis ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman hayati. SSC selanjutnya melakukan penelitian dan penilaian terhadap status satu spesies. Langkah berikutnya merencanakan tindakan konservasi, dan mempersiapkan pedoman teknis IUCN.

Sebanyak 250 orang peserta yang terdiri dari berbagai kalangan yang menangani konservasi di dunia, termasuk peneliti, LSM, pemerintah, praktisi dan pemerhati saling berbagi pelajaran dari berbagai proyek konservasi yang berlangsung di dunia.

Berbagai pihak yang terlibat juga akan mengembangkan usaha baru yang segar guna membendung penurunan dan mencegah kepunahan spesies lebih lanjut di Indonesia dan negara lain.

Mirza yang juga anggota Steering Committee SSC IUCN menambahkan, upaya konservasi spesies di berbagai belahan dunia seringkali terkalahkan oleh pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Ia mencontohkan, empat spesies penyu Indonesia terancam punah, 121 spesies burung endemik berstatus kritis dan 32 spesies burung endemik berstatus terancam punah. Kehidupan populasi Orangutan yang berdampingan dengan 724 desa di Pulau Kalimantan juga mengkhawatirkan.

“Indonesia perlu memerhatikan daftar spesies yang menjadi prioritas konservasi,” lanjutnya.

Upaya konservasi spesies di Indonesia juga telah dilakukan melalui penetapan peraturan dan undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar. Pemerintah juga telah menetapkan prioritas kawasan-kawasan konservasi.

Redaktur: Stevy Maradona
Reporter: c07


(Abstract) New Caledonia has an exceptionallydiverse and unique flora, and there is growing con-cern about the impacts of introduced wild rusa deer on native forests. The diets of free-ranging rusadeer from two native forest sites were studied us-ing rumen content analysis. Samples ( n= 61) froma sclerophyll forest site consisted principally of graminoids (64.6 ± 4.4% dry weight), mainly nativegrass, but the proportion of woody species increasedduring the dry season. In the rumen samples fromthe rainforest site (n= 56), woody species werethe predominant plants (61.9 ± 3.7% dry weight),and the composition of the diet was more constant across seasons. Most of the food items found couldnot be identified to species level, but it is estimatedthat native plants represent 40–60% of rusa deer diet. Although more work is needed to assess diet preferences and impacts of rusa deer, we suggest thatthey represent a potentially important threat to somenative plant species in New Caledonia.

 


(Abstract) This study identifies the client injury experience and safety management practices of Queensland adventure and ecotourism operators, and to compare these findings with those from recent New Zealand surveys. The effectiveness of an on-line survey for collecting safety information from operators is evaluated in relation to the future development of an industry safety monitoring system. Some 60 adventure and ecotourism operators were surveyed, while in-depth interviews were conducted with four further Queensland operators. Survey findings indicated a relatively low level of reported incidents, with slips, trips and falls the most common incident type. Risk factors identified by operators related most frequently to adverse and changeable weather conditions and client skills and behavior, and a notable proportion of operators reported that they did not apply important safety management practices. A model of injury control is presented to assist operators in their risk management practice.

download


(Abstract) Electrochemical hydrogenation of chlorodifluoromethane (HCFC-22) was attempted using metal- and metal–phthalocyanine (PC)-supported gas diffusion electrodes (GDEs). Among these modified GDEs, only the Co–PCsupported GDE showed electrocatalytic activity for HCFC-22 hydrogenation, with decomposition to methane and difluoromethane (HFC-32). The efficiency for hydrogenation and HFC-32 selectivity increased with negative increase in the potential during electrolysis. This potential dependence of hydrogenation efficiency suggests that electrons are transferred to HCFC-22 not from the Co(I) metal center, but from the reduced PC ring, and that the Co(I) metal center acts as the adsorption site for HCFC-22.

Download